Sabtu, 11 Oktober 2014

UU ITE

UU ITE

Pengaturan cyberstalking dalam UU ITE dan Perbandingannya dengan Negara Lain

       Dalam UU ITE, cyberstalking dapat dikategorikan sebagai perbuatan yang dilarang, dimuat dalam pasal 27 ayat (3), dan ayat (4) UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) :

  • Pasal (3):
“Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik”.
  • Pasal (4):
“Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan pemerasan dan/atau pengancaman”.

          Kebanyakan hukum negara-negara di dunia yang mengatur mengenai stalking
mensyaratkan bahwa suatu perbuatan baru disebut sebagai kejahatan stalking apabila pelaku melakukan ancaman terhadap korban. Hal ini yang nampaknya juga diatur dalam UU ITE.
          Sementara tindakan harassment atau menggangu belum diatur dalam UU ITE tersebut, padahal suatu tindakan cyberstalking yang bersifat harassment dapat menjadi langkah awal dari sebuah tindak pidana lainnya, misalnya kasus penculikan anak di bawah umur oleh orang yang baru dikenalnya melalui facebook. Pelaku pasti telah lama ‘membuntuti’ calon korbannya melalui jejaring sosial dan itu merupakan salah satu dari lima tindakan cyberstalking. Sehingga dengan alasan tersebut maka sangat perlu pengaturan lebih lengkap dan lebih tegas mengenai tindak pidana cyberstalking ini.
           Cyberstalking telah menjadi kejahatan baru dalam dunia teknologi informasi dan merupakan masalah serius yang makin berkembang. Di Amerika Serikat, pada tahun 1990 California adalah Negara bagian yang pertama memiliki hukum tentang stalking. Undang-undang tersebut dibuat sebagai hasil dari terjadinya pembunuhan terhadap aktris Rebecca Schaeffer oleh Roberr Bardo pada tahun 1989. Kemudian New York mengundangkan Penal code 240.25 pada tahun 1992 yang telah diubah pada tahun 1994. Kemudian Negara-negara bagian di Australia juga mengundangkan undang-undang mengenai stalking pada tahun 1998. Dan Indonesia baru mengatur tentang stalking dalam UU ITE namun hanya masih terbatas pada tindakan pengancamannya semata. Hukuman di Indonesia untuk kejahatan serius di dunia maya sepertinya kurang memberi efek jera. Namun demikian, Potensi serius dari kejahatan ini dimasa depan membuat divisi cyber crime Kepolisian Republik Indonesia harus terus meningkatkan kualitas layanannya. Selain di jerat dengan pasal hukuman pidana, para penjahat dunia maya ini juga bisadikenai pasal undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronika yang telah disahkan pada tanggal 21 Maret 2008 yang lalu. Dengan demikian mereka yang mengalami kasus cyber stalking bisa dijerat pasal 27, dalam bab perbuatan yang di larang. Mereka yang melanggar bisa dikenakan hukuman pidana hingga lebih dari 5 tahun.
Dalam kasus ini Dinda, Stalker dan Bullyer bisa saja terjerat pasal
1. Pasal 27 ayat (3) UU ITE
    "Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang bermuatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik"
2. Pasal 310 ayat (1) KUHP
    “Barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.”
3. Pasal 28 ayat (1)
    “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik.Ancaman pidananya ialah penjara maksimal 6 tahun dan/atau denda maksimal 1 miliar”
4. Pasal 28 ayat (2)
    “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan / atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA)”

       Namun meski kasus ini sempat hangat dibicarakan dalam sosial media bahkan stasiun televisi , Kasus ini tidak berlanjut dalam pengadilan, karena pihak yang dirugikan ( Dinda dan Ibu Hamil ) sama – sama tidak memperkarakannya, dia juga merasa bersalah dan menyadari bahwa tidak seharusnya dia melakukan hal itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar